Pansor online publik.com

Kamis, 16 Februari 2017

Kunci lagu Risa Dua Endek ne tethu

Risa dua: ndek ne tethu.
Intro: G Am D G

G
Aduh kakak ku rinjani

G Am
Angenku nggak ne lek side

D G
Tetu sak lek dlem ate

Am   D G
Ye ttu se idup semate

2 kali ulang di atas

Em Am
Bersama mu ku  berarti

D   G
Karena mu aku menjadi

Am   D
Seperti bintang terang benerang

Em   G
Kau mberiku harapan

Em   Am
Wee have the she to when the

D  G
Cool the be mean-be mean forever

Reff:

Em  Am
Kemos ku ndek ne ttu uuu

D   G
Angen ku iye sak palsu

Am D  D
Brembe bae jak entanku sak jauk angen

G
Sede sik bryeng ku

Kembali
Ke- Reff

Sabtu, 21 Januari 2017

RAHASIA,MAKRIFAT 10 MENGENAL ALLAH SWT

RAHASIA MAKRIFAT 10 : MENGENAL ALLAH SWT
AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah.
'
LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya: Tidak sah  shalat tanpa mengenalAllah.
'
 MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya: Barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya.
'
ALASTU BIRAB BIKUM QOLU BALA SYAHIDNA  Artinya: Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 7:172)
'
AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya: Manusia itu RahasiaKu dan akulah Rahasianya.
'
WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya: Di dalam dirimu mengapa kamu tidak melihat.
'
ANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya: Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.
'
 LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya: Aku tidak akan menyembah Allah apabila aku tidak melihatnya terlebih dahulu.
'
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH Pada malam Ghaibul Ghaib iaitu dalam keadaan antah-berantah hanya Dzat semata. Belum ada awal dan belum ada akhir, belumada bulan dan belum ada matahari, belum ada bintang belum ada sesuatupun. Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah, maka dalam keadaan ini, Diri yang punya Dzat tersebut telah mentajalikan diri-Nya untuk memuji diri-Nya. Lantas tajalilah  Nur Allah dan kemudian tajali pula  Nur Muhammad (Insan Kamil), yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana, (Kamu, Aku) , (Aku,Kamu),Ana Anta. Maka yang punya Dzat bertanya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba. Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, Aku ini Tuhanmu? Maka dijawablah Nur Muhammadyang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku. Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 7:172:
'
ALASTU BIRAB BIKUM, QOOLU BALA SYAHIDNA. Artinya : Bukan aku ini Tuhanmu? Betul engkau Tuhan kami, Kami menjadi Saksi. Selepas pengakuan atau persumpahan Roh itu dilaksankan, maka bermulalah era baru di dalam perwujudan Allah SWT. Seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya:“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan akuperkenalkan diriku. Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad tujuan yang punya Dzat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri. Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui amanahnya oleh suatu kejadian yang bernama : Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia, atau Rohani. Firman Allah dalam hadis Qudsi:
'
AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU Artinya : Manusia itu RahasiaKu dan Akulah yang menjadi Rahasianya. Jadi yang dinamakan manusia itu ialah karena ia mengenal Rahsia. Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah. Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal Tuhannya, sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada Yang Punya Diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT. Iaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad. (Tambahan Hajrikhusyuk: kembali kepada Allah harus selalu dilakukan semasa hidup, masih berjasad, contohnya dengan solat, kerana solat adalahmikraj oang mukmin atau dengan ‘mati sebelum mati’). Firman Allah An-Nisa 4:58:
'
INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA. Artinya: Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah). Hal tersebut di atas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :
'
MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU. Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini, pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit, Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanyatidak sanggup menerimanya. Seperti firman Allah SWT Al Ahzab 33:72. INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU. Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya. Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima, maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya. Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia. Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Batin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk bagi memperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu abad  ke satu abad, diri satu generasi ke satu generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT  DAN RAHASIA ITU  KEMBALI  KEPADA ALLAH. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN. Artinya : Kita berasal dari Allah, dan  kembali kepada Allah.


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid

4 TINGKATAN ILMU MAKRIFAT

4 TINGKATAN ILMU MAKRIFAT
Makrifat” sering terdengar ditelinga kaum muslimin Indonesia, tingkatan ilmu ini seringkali dipahami dengan tingkatan ilmu yang paling tinggi. Lalu apasih sebenarnya makrifat itu ?. Syaikh Haji Ahmad Rifa’i memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan makrifatyaitu ” Pemandenge ati tan kesamaran Ing Alloh dzat wajibul wujud tinemune, luweh sempurno ora ono kekurangane, dipandeng kelawan nurulloh peparingane kang diselehaken ing dalem telenge atine, dadi hasil waspodo ati tiningalan, ing barang opo penggawe saking pangeran qodrat, irodat, ilmu tan nono liyanikulah pemandenge wong makrifat ingaranan.”

Artinya, Pandangan hati kepada Alloh wajibul wujud yang Maha sempurna lagi tiada cela, Dipandang dengan Nurulloh, cahaya pemberian Allah yang diletakkan dalam mata hati, sehingga hati menjadi waspada dan penuh kesadaran bahwa apapun perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan Allah dan tiada lain merupakan qudrat, irodat serta IlmuNya yang maha sempurna, itulah yang dinamakan pandangan orang ahli makrifat.

Jadi yang dimaksud dengan ilmu makrifat menurut Syaikh Ahmad Rifa’i adalah selalu melihat fenomena yang terjadi dialam raya ini serta apa yang terjadi pada dirinya merupakan wujud dari qudrat, irodat dan ilmu dari Allah swt. Dengan demikian yang dimaksud dengan orang yang arifun billah adalah orang yang senantiasa melihat Allah melalui bukti-bukti akan kekuasaan Allah yang tergambar dengan sangat jelas dari lubuk hatinya.

Melihat Allah dengan mata kepala adalah hal yang tidak mungkin dilakukan di dunia ini, akan tetapi melihatnya dengan mata hati dapat dilakukan oleh mereka para pencariNya dengan jalan memperhatikan makhluk ciptaanNya yang senantiasa menunjukkan eksistensi kholiqnya, itulah sebenarnya ilmu makrifat.

Sudahkah kita bermakrifat ? Jika sudah bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang diberikanNya, namun jikalau belum, perhatikanlah apa yang ada pada diri kita. Wa fil ardhi aayaatul lil muuqiniiin, wa fi anfusikum afalaa tubshiruun. ( Dan di bumi ada ayat bagi orang-orang yang yakin, dan juga didalam diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikannya ? )

Ada 4 tingkatan ilmu makrifat, yaitu :

1. Ilmu Syariat Syara’a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.

2. Ilmu Tarekat Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara’a: kalau syara’a jalan di dalam kota, maka thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang. Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat. Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru tarekat. Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk. Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb. Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat. Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

3. Ilmu hakekat Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya “sholat mencegah kemunkaran”, makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji. Ilmu ini juga disebut ilmu batin. Kenapa pula ilmu ini juga dikatakan ilmu batin? Ini kerana roh atau hati memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Ia adalah makhluk yang tersembunyi. Maka ilmu ini dinamakan ilmu batin kerana ia membahaskan tentang hati dan sifat-sifatnya yang memang tidak dapat dilihat dengan mata lahir tapi dapat dilihat oleh mata batin. Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu.

4. Ilmu makrifat Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta. Batinnya sudah dekat dengan Allah. Semua gerakannya lillahitaala, dan janji Allah untuk membantu setiap aktivitas orang tersebut. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat.


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid

RAHASIA MAKRIFAT

RAHASIA MAKRIFAT
Sangat sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadim sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.

Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata hati mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.

Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).

Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu Zikir kepada Allah dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.

Masih ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.

Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut : “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani).

Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.

Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait zikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syariat semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah.

Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari oleh syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.

Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.

Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran Allah dengan segala sifat-sifatNya. Padahal sifat-sifat Allah sangat terkait erat dengan ayat-ayat kauniyahNya yang terhampar di atas muka bumiNya. Betapa Allah –melalui ayat-ayat kauniyahNya- memang ingin menunjukkan keMaha KuasaanNya dan keMaha BesaranNya agar hamba-hambaNya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam bertindak dan berprilaku agar tidak mengundang turunnya sifat JalilahNya yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapapun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa terkecuali, karena memang Allahlah satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh makhlukNya.


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid

23 SIRI SYARIAT TAREKAT HAKEKAT MAKRIFAT

23 SIRI SYARIAT TAREKAT HAKEKAT MAKRIFAT
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

SIRI SATU

1.    Dinamakan SYAREAT = Menyembah Allah Ta’ala dengan perbuatan, mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasulnya (Al-Quran dan Sunnah)

2.    Dinamakan TAREKAT = Menyembah Allah Ta’ala semata dengan ilmu dan amal yang diketahuinya.

3.    Dinamakan HAKEKAT = Memandang Allah Ta’ala dengan cahaya yang dipancarkan oleh Allah Ta’ala di Hati Sanubari yang dinamakan Sirullah

4.    Dinamakan MAKRIFAT  =  Meliputi seluruh tubuh yaitu Hakekat Allah : Kun, Hu, Dzat.

SIRI DUA

1.    Adapun SYAREAT =  Menjadi tauladan dan tubuh bagi kita

2.    Adapun TAREKAT = Menjalankan kerja Syareat

3.    Adapun HAKEKAT = Menjadi kunci kita menghadap Allah

4.    Adapun MAKRIFAT = Melihat sesuatu tanpa hijab dinamakan juga Amar Nizam.

SIRI TIGA

1.    SYAREAT = Air di dalam tubuh kita, sebab itu kita bisa berkata-kata

2.    TAREKAT = Angin di dalam diri kita, sebab itu kita bisa bernafas

3.    HAKEKAT = Tanah di dalam tubuh kita, sebab itulah kita boleh tetap

4.    MAKRIFAT = Api di dalam tubuh kita, sebab itulah kita boleh mengetahui lebih.

SIRI EMPAT

1.    Ilmu SYAREAT = Dinamakan Sirullah, ibadahnya adalah Nurul Hadi

2.    Ilmu TAREKAT = Dinamakan Ayan Sabitah, ibadahnya adalah Sirul Asral

3.    Ilmu HAKEKAT = Dinamakan Sirr Hayan, ibadahnya adalah Sirrul Iman

4.    Ilmu MAKRIFAT = dinamakan Gaibul Guyub, ibadahnya adalah Sirrul Islam

SIRI LIMA

1.    SYAREAT = Zuhud

2.    TAREKAT = Nur

3.    HAKEKAT = Ilmu

4.    MAKRIFAT = Wujud

SIRI ENAM

1.    Ilmu SYAREAT = Dari Usuluddin

2.    Ilmu TAREKAT = Dari Tasawuf

3.    Ilmu HAKEKAT = Dari Tauhid

4.    Ilmu MAKRIFAT = Dari Usul Muftahul Guyub

SIRI TUJUH 

1.    SYAREAT = Daging, Darah, Tulang, Urat, yang dinamakan Manusia

2.    TAREKAT = Tanah, Air, Api, Angin yang dinamakam Insan

3.    HAKEKAT = Ujud, Ilmu, Nur, Syuhud yang dinamakan Syaiun (Muhammad)

4.    MAKRIFAT = Dzat, Sifat, Af’al, Asma yang dinamakan Allah

SIRI DELAPAN

1.    Ibadah orang SYAREAT = Mengerjakan segala Rukun Islam yang lima

2.    Ibadah orang TAREKAT = Mengerjakan SYAREAT + Taubat, Syukur, Tawakkal, Tahmid, Tawadha’, Harap, Ridha, Sabar, Ikhlas

3.    Ibadah orang HAKEKAT = SYAREAT + TAREKAT + Mengesakan Af’al Allah, mengesakan Asma Allah, Mengesakan Sifat Allah dan Mengesakana Dzat Allah.

4.    Ibadah orang MAKRIFAT = SYAREAT + TAREKAT + HAKEKAT + Mujahadah, Muraqabah, Muqaballah, Musyahadah, Tawajuh dan Tafakur

.SIRI SEMBILAN

1.    Ikhlas orang-orang SYAREAT itu dinamakan ikhlas Mubtadaq

2.    Ikhlas orang-orang TAREKAT itu dinamakan ikhlas Mutawwasit

3.    Ikhlas orang-orang HAKEKAT itu dinamakan ikhlas Muntaha

4.    Ikhlas orang-orang MAKRIFAT juga dinamakan ikhlas Muntaha

SIRI SEPULUH

1.    Jalan SYAREAT = Jalan orang-orang Awam

2.    Jalan TAREKAT = Jalan orang-orang Khas

3.    Jalan HAKEKAT = Jalan orang-orang Khas ul Khas

4.    Jalan MAKRIFAT =Jalan orang-orang Khawas

SIRI SEBELAS

1.    SYAREAT = Af’al Allah

2.    TAREKAT = Asma Allah

3.    HAKEKAT = Sifat Allah

4.    MAKRIFAT = Dzat Allah

SIRI DUABELAS

1.    SYAREAT = Ilmu Yakin

2.    TAREKAT = Ainul Yakin

3.    HAKEKAT = Haqqul Yakin

4.    MAKRIFAT = Akmal Yakin

SIRI TIGA BELAS

1.    SYAREAT = Dzahir

2.    TAREKAT = Batin

3.    HAKEKAT = Akhir

4.    MAKRIFAT = Awal

 SIRI EMPAT BELAS

1.    SYAREAT = Muhammad Dzahir

2.    TAREKAT = Muhammad Batin

3.    HAKEKAT  = Muhammad Akhir

4.    MAKRIFAT = Muhammad Awal

SIRI LIMA BELAS

1.    Cara zikir SYAREAT = Dengan Lidah

2.    Cara zikir TAREKAT = Dengan Hati

3.    Cara zikir HAKEKAT = Dengan Nyawa

4.    Cara zikir MAKRIFAT = Dengan Rahasia

SIRI ENAM BELAS

1.    Pekerjaan SYAREAT = Dikatakan oleh Lidah dan dikerjakan oleh Hati

2.    Pekerjaa TAREKAT =  Hati yang mengerjakan baik atau jahat

3.    Pekerjaan HAKEKAT = Nyawa yang mengerjakan baik atau jahat

4.    Pekerjaan MAKRIFAT = Rahasia yang mengerjakan baik atau jahat

SIRI TUJUH BELAS

1.    Rumah SYAREAT = Lidah

2.    Rumah TAREKAT = Hati

3.    Rumah HAKEKAT = Budi

4.    Rumah MAKRIFAT = Roh

SIRI DELAPAN BELAS

1.    Adab orang SYAREAT = Orang-orang yang berdiri dengan tanda-tanda kenyataan

2.    Adab orang TAREKAT = Orang-orang yang berzikir tanpa tanda, hanya karunia Allah

3.    Adab orang HAKEKAT = Orang-orang yang haknya dan hak Allah

4.    Adab orang MAKRIFAT = Orang-orang yang mengetahui perkataan dan maqam

SIRI SEMBILAN BELAS

1.    Sembahyang orang SYAREAT = Tubuhnya yang menyembah Allah

2.    Sembahyang orang TAREKAT = Hatinya yang menyembah Allah

3.    Sembahyang orang HAKEKAT = Nyawanya yang menyembah Allah

4.    Sembahyang orang MAKRIFAT = Wahadatul wujud yang menerima sembahnya, inilah sembahyang para Nabi, Wali Allah, Ahli sufi dan orang Kamil dan Mukamil

.SIRI DUA PULUH

1.    Pintu SYAREAT = Mata

2.    Pintu TAREKAT = Dua lubang hidungnya

3.    Pintu HAKEKAT =  Dua biji mata

4.    Pintu MAKRIFAT = Di antara mata putih dan mata hitam

SIRI DUA PULUH SATU

1.    Martabat SYAREAT = Alam Roh

2.    Martabat TAREKAT = Alam Malakut

3.    Martabat HAKEKAT = Alam Jabarut

4.    Martabat MAKRIFAT = Alam Lahut

SIRI DUA PULUH DUA

1.    Tujuan SYAREAT = Agar Hatinya ada Nur

2.    Tujuan TAREKAT = Agar Dirinya dan Nyawanya jadi mulia

3.    Tujuan HAKEKAT = Agar dapat memisahkan antara Hak dan Batil

4.    Tujuan MAKRIFAT = Agar dapat derajat Saddikin

SIRI DUA PULUH TIGA

1.    SYAREAT = Ibarat buih

2.    TAREKAT = Ibarat ombak

3.    HAKEKAT = Ibarat laut

4.    MAKRIFAT = Ibarat air

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid

PENGERTIAN MAKRIFAT

Pengertian Ma'rifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti

mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan

pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal

Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama

Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf

yang mengatakan:

"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud

yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat

Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam

keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad

bin Abdillah yang mengatakan:

"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu

pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang

meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.

Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT

Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah

Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).

Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.

Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك

“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.

Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentupara ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). 

Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.

Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.

Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku. 

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali
Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. 

Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.

Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38) 

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan. 

Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu : 

a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam. 

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu. 

Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal. 

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41) 

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:

“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.

Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.

Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.

Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.

Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.

Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.

Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan

perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta

yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran

Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena

hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

 

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak

membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang

hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,

sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat

yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin

padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai

tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai

berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan

ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,

pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi

dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.

Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT

saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai

tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu

menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)

dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu

dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan

tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus

meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu

adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika

Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa

kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni

ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh

secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:

Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.

Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.

Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah

Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.

Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.

Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.

Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.

Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”

Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.

Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].

Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “

Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :

Seandainya Aku tampak tanpa hijab

Pastilah seluruh makhluk sempurna

Namun hijab itu amat halus

Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”

Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:

Matahari siang tenggelam di waktu senja

matahari kalbu tiada pernah tenggelam

Siapa yang mencintai Sang Kekasih

`Kan terbang sayap rindunya

menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:

Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan

Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia

Yang terdapat dalam berbagai hijab

Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka

Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.

Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.

Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”

“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”

Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.

Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”

Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.

Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:

“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:

Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:

“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”

Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”

“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”

Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”

Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”

Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”

Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”

Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”

Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid

JALAN MEMPROLEH MAKRIPAT

JALAN MEMPEROLEHI MAKRIFAT
APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MAKRIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KERANA ALLAH S.W.T TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA  KEPADA KAMU.

Kalam-kalam Hikmat yang dihuraikan terlebih dahulu mengajak kita merenung secara mendalam tentang pengertian amal, Qadak dan Qadar, tadbir dan ikhtiar, doa dan janji Allah s.w.t , yang semuanya itu mendidik rohani agar melihat kecilnya apa yang datangnya daripada hamba dan betapa besar pula apa yang dikurniakan oleh Allah s.w.t. Rohani yang terdidik begini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amalan itu sebaliknya melihat amalan itu sebagai kurniaan Allah s.w.t yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah s.w.t tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima taufik dan hidayat daripada Allah s.w.t.

 Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Nur Sir dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahawa Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia mahu ditemui dan dikenali. Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah s.w.t. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah s.w.t. Allah s.w.t hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan  ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat bahawa tidak ada jalan yang terhulur kepada gerbang  makrifat merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu pergi lebih jauh dari itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahawa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah s.w.t maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t.

 Bukan senang mahu membulatkan hati untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang makrifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga boleh membawa kepada berputus asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah s.w.t bahawa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia beramal agar dia lebih layak untuk menerima kurniaan Allah s.w.t sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia akan berasa ragu-ragu.

 Dalam perjalanan mencari makrifat seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah s.w.t. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah s.w.t, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali Diri-Nya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah s.w.t. Aslim atau menyerah diri kepada Allah s.w.t adalah perhentian di hadapan pintu gerbang makrifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian aslim ini yang berkemungkinan menerima kurniaan makrifat. Allah s.w.t menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahawa si hamba tersebut dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah makam berhampiran dengan Allah s.w.t. Sesiapa yang sampai kepada makam ini haruslah terus membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki dari makam inilah hamba diangkat ke Hadrat-Nya.

 Jalan menuju perhentian aslim iaitu ke pintu gerbang makrifat secara umumnya terbahagi kepada dua. Jalan pertama dinamakan jalan orang yang mencari dan jalan kedua dinamakan jalan orang yang dicari. Orang yang mencari akan melalui jalan di mana dia kuat melakukan mujahadah, berjuang melawan godaan hawa nafsu, kuat melakukan amal ibadat dan gemar menuntut ilmu. Zahirnya sibuk melaksanakan tuntutan syariat dan batinnya memperteguhkan iman. Dipelajarinya tarekat tasauf, mengenal sifat-sifat yang tercela dan berusaha mengikiskannya daripada dirinya. Kemudian diisikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Dipelajarinya perjalanan nafsu dan melatihkan dirinya agar nafsunya menjadi bertambah suci hingga meningkat ke tahap yang diredai Allah s.w.t. Inilah orang yang diceritakan Allah s.w.t dengan firman-Nya:



Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta beroleh keredaan); dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah adalah beserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya. ( Ayat 69 : Surah al-‘Ankabut )



Wahai manusia! Sesungguhnya engkau sentiasa berpenat - (menjalankan keadaan hidupmu) dengan sedaya upayamu hinggalah (semasa engkau) kembali kepada Tuhanmu, kemudian engkau tetap  menemui balasan apa yang telah engkau usahakan itu (tercatit semuanya). (Ayat 6 : Surah al-Insyiqaaq )

Orang yang bermujahadah pada jalan Allah s.w.t dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang dituntut, memperbanyakkan ibadat, berzikir, menyucikan hati, maka Allah s.w.t menunjukkan jalan dengan memberikan taufik dan hidayat sehingga terbuka kepadanya suasana berserah diri kepada Allah s.w.t tanpa ragu-ragu dan reda dengan lakuan Allah s.w.t. Dia dibawa hampir dengan pintu gerbang makrifat dan hanya Allah s.w.t sahaja yang menentukan apakah orang tadi akan dibawa ke Hadrat-Nya ataupun tidak, dikurniakan makrifat ataupun tidak.

Golongan orang yang dicari menempuh jalan yang berbeza daripada golongan yang mencari. Orang yang dicari tidak cenderung untuk menuntut ilmu atau beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang awam tanpa kesungguhan bermujahadah. Tetapi, Allah s.w.t telah menentukan satu kedudukan kerohanian kepadanya, maka takdir akan mengheretnya sampai ke kedudukan yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan sesuatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan kepada hidupnya. Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian yang menimpanya selalunya berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan sesuatu yang menjadi penghalang di antaranya dengan Allah s.w.t. Jika dia seorang raja yang beban kerajaannya menyebabkan dia tidak mampu mendekati Allah s.w.t, maka Allah s.w.t mencabut kerajaan itu daripadanya. Terlepaslah dia daripada beban tersebut dan pada masa yang sama timbul satu keinsafan di dalam hatinya yang membuatnya menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t dengan sepenuh hatinya. Sekiranya dia seorang hartawan takdir akan memupuskan hartanya sehingga dia tidak ada tempat bergantung kecuali Tuhan sendiri. Sekiranya dia berkedudukan tinggi, takdir mencabut kedudukan tersebut dan ikut tercabut ialah kemuliaan yang dimilikinya, digantikan pula dengan kehinaan sehingga dia tidak ada tempat untuk dituju lagi kecuali kepada Allah s.w.t. Orang dalam golongan ini dihalang oleh takdir daripada menerima bantuan daripada makhluk sehingga mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah s.w.t dan timbullah dalam hati mereka suasana penyerahan atau aslim yang benar-benar terhadap Allah s.w.t. Penyerahan yang tidak mengharapkan apa-apa daripada makhluk menjadikan mereka reda dengan apa sahaja takdir dan lakuan Allah s.w.t. Suasana begini membuat mereka sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu dan amal mereka masih sedikit. Orang yang berjalan dengan kenderaan bala bencana mampu sampai ke perhentian tersebut dalam masa dua bulan sedangkan orang yang mencari mungkin sampai dalam masa dua tahun.

 Abu Hurairah r.a menceritakan yang beliau r.a mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya: 
Allah berfirman: “ Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada pengunjung-pengunjungnya maka Aku lepaskan dia dari belenggu-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu dan dia boleh memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua”.

 Amal kebaikan dan ilmunya tidak mampu membawanya kepada kedudukan kerohanian yang telah ditentukan Allah s.w.t, lalu Allah s.w.t dengan rahmat-Nya mengenakan ujian bala bencana yang menariknya dengan cepat kepada kedudukan berhampiran dengan Allah s.w.t. Oleh yang demikian tidak perlu dipersoalkan tentang amalan dan ilmu sekiranya keadaan yang demikian terjadi kepada seseorang hamba-Nya.


I Would like to share this with you. Here You Can Download This Application from PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.bimadev.ilmumarifat

posted from Bloggeroid